Jumat, 04 Juni 2021

Layaknya Sewarga di Sekolah Menengah Pertama

Membersamai perayaan dua anutan: Muslim dan Nasrani, pada tanggal 13 Mei 2021.

Hari sakral bagi dua anutan di Indonesia, ketika umat Muslim secara serentak merayakan hari kemenangannya di bulan Ramadan atau yang biasa dinamai Idulfitri, sedangkan umat Nasrani yang serempak membaktikan ibadah kenaikan Yesus Kristus atau yang karib disebut Isa Al-Masih. 

Bukanlah perihal kebetulan yang tidak-disengajakan musim ataupun tanggal-tanggal di kalender apabila secara berbarengan, dua agama ini merayakan hari kebesarannya di tanggal yang sama. Apalagi, jika memantau lansir dari solopos.com yang mengabarkan kelanggengan dari dua rumah ibadat satu tembok: Gereja Kristen Jawa Joyodiningratan dan Masjid Al-Hikmah.

Gereja Kristen Jawa Joyodiningratan yang satu tembok dengan Masjid Al-Hikmah
(Sumber Foto: Google)

Betapa solidaritasnya dua peribadatan berbeda keyakinan yang terdapat di Kota Surakarta, mewujudukan nilai tenggang rasa yang tinggi di waktu gereja mengubah jadwal ibadah yang biasanya pagi menjadi sore. Hal itu disahkan dengan tujuan agar tidak mengganggu Salat Idulfitri para jemaah Masjid Al-Hikmah.

Melihat momentum tersebut, menjadikan motivasi dan inspirasi bagi saya untuk menceritakan pengimplementasian yang bisa dikatakan serupa dan seiras seperti kisah sewaktu saya duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama di SMP Warga. Dengan keberagaman dan perbedaan yang ada, tidak membuat kami berpangkal pada paham etnosentrisme, melainkan menjunjung tinggi toleransi.

- ○ -

Mengenang tiga tahun lalu, di waktu saya diajarkan adab dan hal-hal baik berkenaan edukasi di SMP atau akronim dari Sekolah Menengah Pertama yang bernama SMP WARGA Jalan Monginsidi No. 15 Tegalharjo, Jebres di Kota Surakarta. Pastinya, lokasi yang strategis ini amat mudah dicari dan diketahui apalagi yang merupakan wong Sala asli.

SMP-SMA Warga 
(Sumber Foto: Facebook)

Satu-satunya sekolah swasta yang memiliki ciri sekolah negeri, memanglah terkesan ambigu dan mengherankan. Namun, memanglah realitas yang mesti diceritakan. Pengalaman pertama saya dalam bersekolah, di mana saya berinteraksi dengan kawan-kawan dari beragam agama dan adat. Sebelumnya, saya berasal dari Taman Kanak dan Sekolah Dasar beragama Nasrani yang tentunya membentuk karakter dasar saya sebagai seorang yang terbiasa bergaul dengan kawan seiman. Lain halnya dengan perubahan yang mesti saya jalankan di tiga tahun ke depan dalam Sekolah Menengah Pertama yang menganut lima kepercayaan dalam pembelajaran sekolah.

Bukanlah kebetulan andaikan saya masuk dalam kategori kelas C, ruang pembelajaran yang mayoritas muridnya Muslim sedangkan anutan saya masuk dalam barisan minoritas di kelas. Mulanya, ingin sekali saya ajukan pindah ke kelas D di mana kelas tersebut muridnya mayoritas umat Nasrani, sama seperti saya. Namun, saya mencoba berpikir jernih demi kepentingan karakter saya ke depan.

"Aku enggak bisa terus-terusan membatasi diri dengan bergaul pada orang tertentu saja. Jika paham dalam diriku berciri kedaerahan, bagaimana bisa aku jadi siswi dengan pola pikir yang maju?" 

Begitulah tuturku menutup niat untuk berpindah kelas dan berusaha bertindak sewajarnya demi mengaramkan ego tersendiri.

Percaya atau tidak, bukan maksud mempertontonkan diri sebagai siswi soleh atau suci. Namun, memang tepat jikalau pelajaran agama ialah jadwal yang selalu saya nanti-nantikan di sepanjang hari. Agar saya dapat berkumpul hanya pada kawan seiman saya yang amat minim di kelas ini. 

Tak mau melupa, di satu hari waktu pelajaran agama berjalan, materi pembelajaran tersebut cukuplah membuat saya tertegun barang sejenak jam. Ini bukan perihal dosa dan hal-hal buruk yang mesti diharamkan dalam hidup. Namun, perihal 'TOLERANSI BERAGAMA' dalam kemajemukan masyarakat. Tersadar beberapa menit, bahwa dulu sewaktu TK ataupun SD memang belum pernah terdapat materi yang menyinggung saya seperti di hari itu. Atau, barangkali telah diajarkan namun saya yang terlalu riweuh tak mau mengindahkannya.

Seketika itu, secepatnya saya buang egosentrisme yang bersemayam dalam buah pikir. Meradikalkan sifat toleransi yang menjadi dasar keseharian saya dalam beraktivitas maupun bersekolah. Bersyukurlah, saya dapat dibentuk dengan getaran positif di sekolah ini, yang dinamakan Warga pada dasarnya bukanlah sekadar warga sekolah atau warga penuntut ilmu, namun layaknya Se-Warga dalam satu keluarga yang memusatkan Bhinneka Tunggal Ika sebagai filosofi terbentuknya persatuan dan kesatuan.

Saya dan beberapa teman Nasrani saya di kelas tersebut patut menunaikan ibadah toleransi ketika musim Ramadan bertandang. Pastinya, kelas saya di masa itu dipenuhi tenggang rasa untuk saling menjaga dengan menghargai ibadah puasa mereka, dengan tidak makan dan minum di dalam kelas (biasanya jam istirahat kami makan dan minum di dalam kelas) dan menutup bekal kami dengan plastik yang umumnya kami jajarkan di meja belakang khusus wadah menaruh bekal.

Selain itu, adapun masa Idul Adha di mana kawan kami: Muslim, bersama menabung untuk kurban sembelihan. Betapa terhormatnya saya dan beberapa kawan saya yang Nasrani, ikut mendapat jatah hasil sembelihan di hari itu walaupun tidak ikut menyumbang. Meski dengan enggan dan takut menerima, guru wali kami meyakinkan bahwa hal tersebut dimaknai sebagai pengimplementasian dalam bentuk berbagi dan sikap toleransi yang tinggi. Sehingga, di hari itu bersama kami satu sekolah SMP Warga menikmati daging sembelihan itu di sepanjang koridor kelas yang dihiasi canda dan guyon ala kanak-kanak konsepsional.

Filosofi 'Warga' juga menandakan adanya kepastian dalam kebinekaan yang diaminkan dengan keteguhan dalam persatuan. Selayaknya Indonesia dengan keragaman yang dimilikinya, dilandasi dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika menjadikan negeri diperdamaikan dengan kerukunan beragama dan beradat.

Tidak hanya bicara soal agama, etnis pun tak mampu disangkal jikalau sempat menjadi bahan adu cekcok di masa SMP saya. Adanya keberagaman budaya seperti logat (cara bicara dan berperilaku) yang berbeda pun menjadi dasar bercanda yang berakibat pertengkaran. Walaupun begitu, kembali kami dirukunkan dengan semboyan kelas yakni:
Satu Kelas
Satu Mimpi
Satu Masa Depan.

Sebagaimana bangsa yang mesti memperjuangkan kemerdekaannya, patut dipersenjatai rasa persatuan dan kesatuan yang termaktub di dalamnya sifat toleransi dan saling hormat-menghormati di atas tanah bineka.

Di kelas itu, juga di sekolah itu, bersama kita seatap, setembok, seruang menjunjung nilai-nilai toleransi di atas keberagaman dan keanekaan budaya, agama, dan ras. Dari sinilah saya terbiasa bergaul dengan agama-agama lainnya, hingga sekarang.

“Ini cara saya untuk merawat kebersamaan, toleransi, dan keberagaman. Bagaimana cara kamu? Kabarkan/sebarkan pesan baik untuk MERAWAT kebersamaan, toleransi, dan keberagaman kamu dengan mengikuti lomba “Indonesia Baik” yang diselenggarakan KBR (Kantor Berita Radio). Syaratnya, bisa Anda lihat di sini indonesiabaik.kbr.id

12 komentar:

  1. KEREN BANGEEEEEEET WEH
    TERVENGANG-CENGANG

    SEMANGAT KAKAAAAA🤩

    BalasHapus
  2. Keren bangettt, salam toleransi 🙏🙏

    BalasHapus
  3. Keragaman ini merupakan khazanah kekayaan sekaligus kekuatan bangsa✨✨❤️❤️❤️❤️kerenn adekkkk

    BalasHapus
  4. keren banget!!! always spread positivity, semangattt

    BalasHapus
  5. keren banget!!! always spread positivity, semangattt

    BalasHapus
  6. Dari tulisan kamu ini saya menjadi lebih semanga utk berkarya di dunia blogger lg... Di dunia fotografer... Dll terimakasih sudah memberi energi inpirasi ini ke saya...

    BalasHapus
  7. Kerenn bund. Aku juga smp di negeri. Jadi sangat merasakan toleransi yang membingkai kita masing-masing. Saling berkunjung dan juga berbagi candaan. Tanpa ada diskriminasi atas perbedaan. Semangat teruusss

    BalasHapus
  8. Kerenn bund. Aku juga smp di negeri. Jadi sangat merasakan toleransi yang membingkai kita masing-masing. Saling berkunjung dan juga berbagi candaan. Tanpa ada diskriminasi atas perbedaan. Semangat teruusss

    BalasHapus

Layaknya Sewarga di Sekolah Menengah Pertama

Membersamai perayaan dua anutan: Muslim dan Nasrani, pada tanggal 13 Mei 2021. Hari sakral bagi dua anutan di Indonesia, ketika umat Muslim ...